Rabu, 12 Oktober 2016

endapan epithermal

Endapan Mineral Epitermal
Proses Epithermal
Endapan epitermal didefinisikan sebagai salah satu endapan dari sistem hidrotermal yang terbentuk pada kedalaman dangkal yang umumnya pada busur vulkanik yang dekat dengan permukaan (Simmons et al, 2005 dalam Sibarani, 2008). Penggolongan tersebut berdasarkan temperatur (T), tekanan (P) dan kondisi geologi yang dicirikan oleh kandungan mineralnya. Secara lebih detailnya endapan epitermal terbentuk pada kedalaman dangkal hingga 1000 meter dibawah permukaan dengan temperatur relatif rendah (50-200)0C dengan tekanan tidak lebih dari 100 atm dari cairan meteorik dominan yang agak asin (Pirajno, 1992).
Tekstur penggantian (replacement) pada mineral tidak menjadi ciri khas karena jarang terjadi. Tekstur yang banyak dijumpai adalah berlapis (banded) atau berupa fissure vein. Sedangkan struktur khasnya adalah berupa struktur pembungkusan (cockade structure). Asosiasi pada endapan ini berupa  mineral emas (Au) dan perak (Ag) dengan mineral penyertanya berupa mineral kalsit, mineral zeolit dan mineral kwarsa. Dua tipe utama dari endapan ini adalah low sulphidation dan high sulphidation yang dibedakan terutama berdasarkan pada sifat kimia fluidanya dan berdasarkan pada alterasi dan mineraloginya.
Endapan epithermal umumnya ditemukan sebagai sebuah pipe-seperti zona dimana batuan mengalami breksiasi dan teralterasi atau terubah tingkat tinggi. Veins juga ditemukan, khususnya sepanjang zona patahan., namun mineralisasi vein mempunyai tipe tidak menerus (discontinuous).
Pada daerah volcanic, sistem epithermal sangat umum ditemui dan seringkali mencapai permukaan, terutama ketika fluida hydrothermal muncul (erupt) sebagai geyser dan fumaroles. Banyak endapan mineral epithermal tua menampilkan fossil ‘roots’ dari sistem fumaroles kuno. Karena mineral-mineral tersebut berada dekat permukaan, proses erosi sering mencabutnya secara cepat, hal inilah mengapa endapan mineral epithermal tua relatif  tidak umum secara global. Kebanyakan dari endapan mineral epithemal berumur Mesozoic atau lebih muda.
Mineralisasi epitermal memiliki sejumlah fitur umum seperti hadirnya kalsedonik quartz, kalsit, dan breksi hidrotermal. Selain itu, asosiasi elemen juga merupakan salah satu ciri dari endapan epitermal, yaitu dengan elemen bijih seperti Au, Ag, As, Sb, Hg, Tl, Te, Pb, Zn, dan Cu. Tekstur bijih yang dihasilkan oleh endapan epitermal termasuk tipe pengisian ruang terbuka (karakteristik dari lingkungan yang bertekanan rendah), krustifikasi, colloform banding dan struktur sisir. Endapan yang terbentuk dekat permukaan sekitar 1,5 km dibawah permukaan ini juga memiliki tipe berupa tipe vein, stockwork dan diseminasi.
Dua tipe utama dari endapan ini adalah low sulphidation dan high sulphidation yang dibedakan terutama berdasarkan pada sifat kimia fluidanya dan berdasarkan pada alterasi dan mineraloginya (Hedenquist et al., 1996:2000 dalam Chandra,2009).
Dibawah ini digambarkan ciri-ciri umum endapan epitermal (Lingren, 1933 dalam Sibarani,2008)):
·        Suhu relatif rendah (50-250°C) dengan salinitas bervariasi antara 0-5 wt.%
·        Terbentuk pada kedalaman dangkal (~1 km)
·        Pembentukan endapan epitermal terjadi pada batuan sedimen atau batuan beku, terutama yang berasosiasi dengan batuan intrusiv dekat permukaan atau ekstrusif, biasanya disertai oleh sesar turun dan kekar.
·        Zona bijih berupa urat-urat yang simpel, beberapa tidak beraturan dengan pembentukan kantong-kantong bijih, seringkali terdapat pada pipa dan stockwork. Jarang terbentuk sepanjang permukaan lapisan, dan sedikit kenampakan replacement (penggantian).
·        Logam mulia terdiri dari Pb, Zn, Au, Ag, Hg, Sb, Cu, Se, Bi, U
·        Mineral bijih berupa Native Au, Ag, elektrum, Cu, Bi, Pirit, markasit, sfalerit, galena, kalkopirit, Cinnabar, jamesonite, stibnite, realgar, orpiment, ruby silvers, argentite, selenides, tellurides.
·        Mineral penyerta adalah kuarsa, chert, kalsedon, ametis, serisit, klorit rendah-Fe, epidot, karbonat, fluorit, barite, adularia, alunit, dickite, rhodochrosite, zeolit
·        Ubahan batuan samping terdiri dari  chertification (silisifikasi), kaolinisasi, piritisasi, dolomitisasi, kloritisasi
·        Tekstur dan struktur yang terbentuk adalah Crustification (banding) yang sangat umum, sering sebagai fine banding, vugs, urat terbreksikan.
·        Karakteristik umum dari endapan epitermal (Simmons et al, 2005 dalam Sibarani, 2008) adalah:
·        Jenis air berupa air meteorik dengan sedikit air magmatik
·        Endapan epitermal mengandung mineral bijih epigenetic yang pada umumnya memiliki batuan induk berupa batuan vulkanik.
·        Tubuh bijih memiliki bentuk yang bervariasi yang disebabkan oleh kontrol dan litologi dimana biasanya merefleksikan kondisi paleo-permeability pada kedalaman yang dangkal dari sistem hidrotermal.
·        Sebagian besar tubuh bijih terdapat berupa sistem urat dengan dip yang terjal yang terbentuk sepanjang zona regangan. Beberapa diantaranya terdapat bidang sesar utama, tetapi biasanya pada sesar-sesar minor.
·        Mineral gangue yang utama adalah kuarsa sehingga menyebabkan bijih keras dan realtif tahan terhadap pelapukan.
·        Kandungan sulfida pada urat relatif sedikit (<1 s/d 20%).
Klasifikasi Endapan Epithermal
Pada lingkungan epitermal terdapat 2 (dua) kondisi sistem hidrotermal (Gambar 2.4) yang dapat dibedakan berdasarkan reaksi yang terjadi dan keterdapatan mineral-mineral alterasi dan mineral bijihnya yaitu epitermal low sulfidasi dan high sulfidasi (Hedenquist et al .,1996; 2000 dalam Sibarani, 2008).  Pengklasifikasian endapan epitermal masih merupakan perdebatan hingga saat ini, akan tetapi sebagian besar mengacu kepada aspek mineralogi dan gangue mineral, dimana aspek tersebut merefleksikan aspek kimia fluida maupun aspek perbandingan karakteristik mineralogi, alterasi (ubahan) dan bentuk endapan pada lingkungan epitermal. Aspek kimia dari fluida yang termineralisasi adalah salah satu faktor yang terpenting dalam penentuan kapan mineralisasi tersebut terjadi dalam sistem hidrotermal.
1.  Karakteristik Endapan Epitermal Sulfida Rendah / Tipe Adularia-Serisit          (Epithermal Low Sulfidation )
a.    Tinjauan Umum
Endapan epitermal sulfidasi rendah dicirikan oleh larutan hidrotermal yang bersifat netral dan mengisi celah-celah batuan. Tipe ini berasosiasi dengan alterasi kuarsa-adularia, karbonat, serisit pada lingkungan sulfur rendah dan biasanya perbandingan perak dan emas relatif tinggi. Mineral bijih dicirikan oleh terbentuknya elektrum, perak sulfida, garam sulfat, dan logam dasar sulfida. Batuan induk pada deposit logam mulia sulfidasi rendah adalah andesit alkali, dasit, riodasit atau riolit. Secara genesa sistem epitermal sulfidasi rendah berasosiasi dengan vulkanisme riolitik. Tipe ini dikontrol oleh struktur-struktur pergeseran (dilatational jog).
b.   Genesa dan Karakteristik
Endapan ini terbentuk jauh dari tubuh intrusi dan terbentuk melalui larutan sisa magma yang berpindah jauh dari sumbernya kemudian bercampur dengan air meteorik di dekat permukaan dan membentuk jebakan tipe sulfidasi rendah, dipengaruhi oleh sistem boiling sebagai mekanisme pengendapan mineral-mineral bijih. Proses boiling disertai pelepasan unsur gas merupakan proses utama untuk pengendapan emas sebagai respon atas turunnya tekanan. Perulangan proses boiling akan tercermin dari tekstur “crusstiform banding” dari silika dalam urat kuarsa. Pembentukan jebakan urat kuarsa berkadar tinggi mensyaratkan pelepasan tekanan secara tiba-tiba dari cairan hidrotermal untuk memungkinkan proses boiling. Sistem ini terbentuk pada tektonik lempeng subduksi, kolisi dan pemekaran (Hedenquist dkk., 1996 dalam Pirajno, 1992).
Kontrol utama terhadap pH cairan adalah konsentrasi CO2 dalam larutan dan salinitas. Proses boiling dan terlepasnya CO2 ke fase uap mengakibatkan kenaikan pH, sehingga terjadi perubahan stabilitas mineral contohnya dari illit ke adularia. Terlepasnya CO2 menyebabkan terbentuknya kalsit, sehingga umumnya dijumpai adularia dan bladed calcite sebagai mineral pengotor (gangue minerals) pada urat bijih sistem sulfidasi rendah
Endapan epitermal sulfidasi rendah akan berasosiasi dengan alterasi kuarsa–adularia, karbonat dan serisit pada lingkungan sulfur rendah. Larutan bijih dari sistem sulfidasi rendah variasinya bersifat alkali hingga netral (pH 7) dengan kadar garam rendah (0-6 wt)% NaCl, mengandung CO2 dan CH4 yang bervariasi. Mineral-mineral sulfur biasanya dalam bentuk H2S dan sulfida kompleks dengan temperatur sedang (150°-300° C) dan didominasi oleh air permukaan
Batuan samping (wallrock) pada endapan epitermal sulfidasi rendah adalah andesit alkali, riodasit, dasit, riolit ataupun batuan – batuan alkali. Riolit sering hadir pada sistem sulfidasi rendah dengan variasi jenis silika rendah sampai tinggi. Bentuk endapan didominasi oleh urat-urat kuarsa yang mengisi ruang terbuka (open space), tersebar (disseminated), dan umumnya terdiri dari urat-urat breksi (Hedenquist dkk., 1996). Struktur yang berkembang pada sistem sulfidasi rendah berupa urat, cavity filling, urat breksi, tekstur colloform, dan sedikit vuggy (Corbett dan Leach, 1996), lihat Tabel 2.1
c.    Interaksi Fluida
Epithermal Low Sulphidation terbentuk dalam suatu sistem geotermal yang didominasi oleh air klorit dengan pH netral dan terdapat kontribusi dominan dari sirkulasi air meteorik yang dalam dan mengandung CO2, NaCl, and H2S
d.   Model Konseptual Endapan Emas Epitermal Sulfidasi Rendah
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgINaTGkp56Oz85eEZ_SPg7wVNaXZP-pCPGrFp-IAyVaM49S8_ctjWhCsaY4ansjZo1BowQ_TvZe-5nHB7vdJ5ZlX6qjeqLRK1V7JDyuurFOz6Olq1kXrRH6ByS7V1uH-LB7tgZ5EUErYw/s320/epi1.jpg
Gambar.1. Model endapan emas epitermal sulfidasi rendah
(Hedenquist dkk., 1996 dalam Nagel, 2008).

Gambar diatas merupakan model konseptual dari endapan emas sulfidasi rendah. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa endapan ephitermal sulfidasi rendah berasosiasi dengan lingkungan volkanik, tempat pembentukan yang relatif dekat permukaan serta larutan yang berperan dalam proses pembentukannya berasal dari campuran air magmatik dengan air meteorit
2.  Karakteristik Endapan Epitermal Sulfida Tinggi (Epithermal High Sulfidation) atau Acid Sulfate
a.    Tinjauan Umum
Endapan epitermal high sulfidation dicirikan dengan host rock berupa batuan vulkanik bersifat asam hingga intermediet dengan kontrol struktur berupa sesar secara regional atau intrusi subvulkanik, kedalaman formasi batuan sekitar 500-2000 meter dan temperatur 1000C-3200C. Endapan Epitermal  High Sulfidation terbentuk oleh sistem dari fluida hidrotermal yang berasal dari intrusi magmatik yang cukup dalam, fluida ini bergerak secara vertikal dan horizontal menembus rekahan-rekahan pada batuan dengan suhu yang relatif tinggi (200-3000C), fluida ini didominasi oleh fluida magmatik dengan kandungan acidic yang tinggi yaitu berupa HCl, SO2, H2S (Pirajno, 1992).
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh6fRyd6McDUdr2omNoer50EKO_1D7V2JuaCuLqKfNil4uiF9kqg9ixjbHgx9A1gD_2HFcnN_10EoAgFJSUbQT4WN6xRTJoK5wHWg9DmuG8bfn6hFPovhtVa63ytGmnPxFG_tMfe_TNQHM/s320/epi2.jpg
Gambar 2. Keberadaan sistem sulfidasi tinggi
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgwtxd6JdZtSPt7y37xdY9Lf0DUobf91m0_9SzkO6s97tGmG1dwbbyKDLs59yEUAqvdimArS__xmdBzVnPgrf-SjMEH-DNWDaZZExGHIUxDMGQMQrnAibxQ50hpHDFALSSqQdsQReSj2z8/s320/epi3.jpg
Gambar 3. Penampang Ideal Endapan Epitermal Menurut Buchanan (1981)
a.    Genesa dan Karakteristik
Endapan epitermal high sulfidation terbentuk dari reaksi batuan induk dengan fluida magma asam yang panas, yang menghasilkan suatu karakteristik zona alterasi (ubahan) yang akhirnya membentuk endapan Au+Cu+Ag. Sistem bijih menunjukkan kontrol permeabilitas yang tergantung oleh faktor litologi, struktur, alterasi di batuan samping, mineralogi bijih dan kedalaman formasi. High sulphidation berhubungan dengan pH asam, timbul dari bercampurnya fluida yang mendekati pH asam dengan larutan sisa magma yang bersifat encer sebagai hasil dari diferensiasi magma, di kedalaman yang dekat dengan tipe endapan porfiri dan dicirikan oleh jenis sulfur yang dioksidasi menjadi SO.
b.   Interaksi Fluida
Epithermal High Sulphidation terbentuk dalam suatu sistem magmatic-hydrothermal yang didominasi oleh fluida hidrothermal yang asam, dimana terdapat fluks larutan magmatik dan vapor yang mengandung H2O, CO2, HCl, H2S, and SO2, dengan variabel input dari air meteorik lokal.
Potensi Dan Keberadaan Endapan Epithermal
Jenis endapan epitermal yang terletak 500 m bagian atas dari suatu sistem hidrotermal ini merupakan zone yang menarik dan terpenting. Disini terjadi perubahan-perubahan suhu dan tekanan yang maksimum serta mengalami fluktuasi-fluktuasi yang paling cepat. Fluktuasi-fluktuasi tekanan ini menyebabkan perekahan hidraulik (hydraulic fracturing), pendidihan (boiling), dan perubahan-perubahan hidrologi sistem yang mendadak. Proses-proses fisika ini secara langsung berhubungan dengan proses-proses kimiawi yang menyebabkan mineralisasi (www.terrasia.tripod.com)
Terdapat suatu kelompok unsur-unsur yang umumnya berasosiasi dengan mineralisasi epitermal, meskipun tidak selalu ada atau bersifat eksklusif dalam sistem epitermal. Asosiasi klasik unsur-unsur ini adalah: emas (Au), perak (Ag), arsen (As), antimon (Sb), mercury (Hg), thallium (Tl), dan belerang (S) (www.terrasia.tripod.com) .
Dalam endapan yang batuan penerimanya karbonat (carbonat-hosted deposits), arsen dan belerang merupakan unsur utama yang berasosiasi dengan emas dan perak (Berger, 1983), beserta dengan sejumlah kecil tungsten/wolfram (W), molybdenum (Mo), mercury (Hg), thallium (Tl), antimon (Sb), dan tellurium (Te); serta juga fluor (F) dan barium (Ba) yang secara setempat terkayakan.  Dalam endapan yang batuan penerimanya volkanik (volcanic-hosted deposits) akan terdapat pengayaan unsur-unsur arsen (As), antimon (Sb), mercury (Hg), dan thallium (Tl); serta logam-logam mulia (precious metals) dalam daerah-daerah saluran fluida utama, sebagaimana asosiasinya dengan zone-zone alterasi lempung. Menurut Buchanan (1981), logam-logam dasar (base metals) karakteristiknya rendah dalam asosiasinya dengan emas-perak, meskipun demikian dapat tinggi pada level di bawah logam-logam berharga (precious metals) atau dalam asosiasi-nya dengan endapan-endapan yang kaya perak dimana unsur mangan juga terjadi. Cadmium (Cd), selenium (Se) dapat berasosiasi dengan logam-logam dasar; sedangkan fluor (F), bismuth (Bi), tellurium (Te), dan tungsten (W) dapat bervariasi tinggi kandungannya dari satu endapan ke endapan yang lainnya; serta boron (B) dan barium (Ba) terkadang terkayakan.  (www.terrasia.tripod.com).
Mineral-mineral ekonomis yang dihasilkan dari epitermal  antara lain Au, Ag, Pb, Zn, Sb, Hg, arsenopirit, pirit, garnet, kalkopirit, wolframit, siderit, tembaga, spalerite, timbal, stibnit, katmiun, galena, markasit, bornit, augit, dan topaz. Berikut ini adalah beberapa contoh logam hasil dari endapan epitermal yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi, antara lain: Emas (Au) dan Perak (Ag).
1 Emas
Emas adalah unsur kimia dalam tabel periodik yang memiliki simbol Au (bahasa Latin: 'aurum') dan nomor atom 79. Sebuah logam transisi (trivalen dan univalen) yang lembek, mengkilap, kuning, berat, "malleable", dan "ductile". Emas tidak bereaksi dengan zat kimia lainnya tapi terserang oleh klorin, fluorin dan aqua regia. Logam ini banyak terdapat di nugget emas atau serbuk di bebatuan dan di deposit alluvial dan salah satu logam coinage. Kode ISOnya adalah XAU. Emas melebur dalam bentuk cair pada suhu sekitar 1000 derajat celcius.
Emas merupakan logam yang bersifat lunak dan mudah ditempa, kekerasannya berkisar antara 2,5 – 3 (skala Mohs), serta berat jenisnya tergantung pada jenis dan kandungan logam lain yang berpadu dengannya. Mineral pembawa emas biasanya berasosiasi dengan mineral ikutan (gangue minerals). Mineral ikutan tersebut umumnya kuarsa, karbonat, turmalin, flourpar, dan sejumlah kecil mineral non logam. Mineral pembawa emas juga berasosiasi dengan endapan sulfida yang telah teroksidasi. Mineral pembawa emas terdiri dari emas nativ, elektrum, emas telurida, sejumlah paduan dan senyawa emas dengan unsur-unsur belerang, antimon, dan selenium. Elektrum sebenarnya jenis lain dari emas nativ, hanya kandungan perak di dalamnya >20% (Sutarto, 2004).
Sebagian besar endapan emas di Indonesia dihasilkan jenis endapan epitermal. Endapan emas tipe ini umumnya didapatkan dalam bentuk urat, baik dalam urat kuarsa maupun dlam urat bentuk karbonat yang terbentuk dalam suhu 150-3000C dengan pH sedikit asam atau mendekati netral Urat-urat tersebut terbentuk oleh hasil aktifitas hidrotermal yang berada di sekitar endapan porfiri. Dimana emas, perak, tembaga, wolfram, dan timah terdapat dalam endapan ini (Sukandarrumidi, 2007).
Kebanyakan emas epitermal terdapat dalam vein-vein yang berasosiasi dengan Alterasi Quartz-Illite yang menunjukkan pengendapan dari fluida-fluida dengan pH mendekati netral (Fluida-fluida Khlorida Netral) Dalam alterasi dan mineralisasi dengan jenis fluida ini, emas dijumpai dalam vein, veinlet, breksi ekplosi atau breksi hidrotermal, dan stockwork atau stringer Pyrite+Quartz yang berbentuk seperti rambut (hairline)
Emas epitermal juga terdapat dalam Alterasi Advanced-Argillic dan alterasi-alterasi sehubungan yang terbentuk dari Fluida-fluida Asam Sulfat. Dalam alterasi dan mineralisasi dengan jenis fluida ini, emas dijumpai dalam veinlet, batuan-batuan silika masif, atau dalam rekahan-rekahan atau breksi-breksi dalam batuan.
Proses terbentuknya emas endapan epitermal dapat diuraikan sebagai berikut: emas diangkut oleh larutan hidrotermal yang kaya akan ligand HS- dan OH-. Ligan ini mengangkut emas hingga ke tempat pengendapannya. Kehadiran breksi hidrotermal merupakan salah satu cirri adanya proses pendidihan pada larutan hidrotermal. Pendidihan terjadi karena ada pertemuan antara larutan yang bersuhu tinggi (hidrotermal) dengan larutan yang bersuhu rendah (larutan meteoric). Selama proses pendidihan ini tekanan menjadi semakin besar sehingga mengancurkan dinding batuan yang dilalui larutan hidrotermal. Akibat proses pendidihan tersebut, yaitu hilangnya gas H2S, terjadi peningkatan pH dan penurunan suhu. Ketiga proses tersebut dapat mengantarkan emas pada batuan sehingga kadar emas primer tinggi biasanya dijumpai di breksi hidrotermal (Sukandarrumidi, 2007).
2 Perak
Dijumpai sebagai unsur (perak murni) atau sebagai senyawa.  Sebagai perak murni (Ag) mempunyai sifat; Kristal-kristal berkelompok tersusun sejajar, menjarum, atau menjaring, kadang berupa sisik, kilap logam. Dalam bentuk  mineral didapatkan sebagai argentite, cerrargirit, miagirit, dan proustit (Sukandarrumidi, 2007). Perak biasanya berasosiasi dengan pirit, tembaga, emas, kalsit, dan nikel. Perak terbentuk dari reduksi sulfide pada bagian bawah endapan Ag, Zn, dan Pb. Terkadang juga terbentuk sebagai endapan primer urat epitermal berasosiasi dengan kalsit (temperature rendah) (Sutarto, 2004). Kandungan perak pada beberapa mineral dapat mencapai perak murni (100%), argentite (87%), prousite (65%), miagrite (36%), dan dalam kandungan emas (28%). Endapan perak yang dihasilkan dari endapan emas kurang lebih 75% didapatkan sebagai hasil samping dari pengolahan bijih emas, nikel dan tembaga. Endapan perak dapat berupa endapan pengisian dan endapan penggantian, serta pengayaan sulfide. Kebanyakan endapan perak didunia dihasilkan dari dari hidrotermal tipe fissure filling (Sukandarrumidi, 2007).
Pemanfaatan Hasil Endapan Epitermal
1  Emas
Emas digunakan sebagai standar keuangan di banyak negara dan juga digunakan sebagai perhiasan, dan elektronik. Penggunaan emas dalam bidang moneter dan keuangan berdasarkan nilai moneter absolut dari emas itu sendiri terhadap berbagai mata uang di seluruh dunia, meskipun secara resmi di bursa komoditas dunia, harga emas dicantumkan dalam mata uang dolar Amerika. Bentuk penggunaan emas dalam bidang moneter lazimnya berupa bulion atau batangan emas dalam berbagai satuan berat gram sampai kilogram.
2  Sfalerit (ZnS)
Unsur ini biasanya ditemukan bersama dengan logam-logam lain seperti tembaga dan timbal dalam bijih logam. Seng diklasifikasikan sebagai kalkofil, yang berarti bahwa unsur ini memiliki afinitas yang rendah terhadap oksigen dan lebih suka berikatan dengan belerang. Kalkofil terbentuk ketika kerak bumi memadat di bawah kondisi atmosfer bumi awal yang mendukung reaksi reduksi. Sfalerit, yang merupakan salah satu bentuk kristal seng sulfida, merupakan bijih logam yang paling banyak ditambang untuk mendapatkan seng karena mengandung sekitar 60-62% seng.Pelapisan seng pada baja untuk mencegah perkaratan merupakan aplikasi utama seng. Aplikasi-aplikasi lainnya meliputi penggunaannya pada baterai dan campuan logam.
3Timbal (Pb)
Timbal tersebut juga memberikan berbagai manfaat, salah satunya adalah pelumasan pada dudukan katup dalam proses pembakaran khususnya bagi mesin-mesin kendaraan bermotor keluaran lama (dekade 1980-an dan sebelumnya). Adanya fungsi pelumasan dari Timbal pada dudukan katup tersebut, akan mengakibatkan dudukan katup terjaga dari keausan dan resesi (recession valve) sehingga lebih tahan lama/awet. Dengan kata lain perawatan untuk dudukan katup tersebut menjadi lebih murah.
sifat timbal ini yang tahan terhadap korosi (karatan), timbal ini biasanya digunakan untuk bahan perpipaan, bahan aditif untuk bensin, baterai, pigmen dan amunisi. Selain itu dalam dunia permesinan terutama kendaraan bermotor timbal ini juga bermanfaat buat menambah nilai oktan pada bensin (premium) sehingga efek knocking (ketukan) pada mesin dapat dihindari. Residu timbal ini berfungsi untuk melapisi katup. Karena ada lapisan ini, maka ketika katup menutup ada semacam bantalan/pelindung antara bahan metal katup dengan dudukan katup(valve seat) di cylinder head mesin sehingga terhindar terjaga dari keausan dan resesi (recession valve) sehingga lebih tahan lama/awet. (www.superpedia.rumahilmuindonesia.net)


genesa batubara

GENESA BATUBARA

Pengertian batubara
Batubara yang mempunyai rumus kimia C, adalah bahan tambang yang tidak termasuk dalam kelompok mineral. Batubara (coal) adalah : bahan bakar hidro-karbon padat yang terbentuk dari tetumbuhan dalam lingkungan bebas oksigen  dan terkena pengaruh P & T yang berlangsung lama sekali (hingga puluhan-ratusan juta tahun).
Batubara dapat dikategorikan sebagai salah satu batuan sedimen yang kaya akan material organik. Cook & Sherwood (1991) mengemukakan bahwa suatu deposit bisa disebut sebagai batubara jika  kandungan material organiknya lebih dari 80%. Deposit batubara merupakan hasil akhir dari suatu efek kumulatif proses pembusukan dan penguraian tumbuhan, deposisi dan pembebanan sedimen, proses endogenik seperti pergerakan kerak bumi dan proses eksogenik contohnya erosi
Proses pembentukan batubara memakan waktu hingga puluhan juta tahun, dimulai dari pembentukan gambut (peat) kemudian menjadi  lignite, sub-bituminous, bituminous hingga antrasit. Proses pembentukan batubara/pembatubaraan (koalifikasi) dapat diartikan sebagai proses pengeluaran berangsur-angsur dari zat pembakar (O2) dalam bentuk karbon dioksida (CO2) dan air (H2O) hingga akhirnya menyebabkan konsentrasi karbon tetap (fixed carbon) dalam bahan asal batubara bertambah.
        Kandungan Air :
Peat (gambut)      < 60 %
--------------------------------------------------------------------
Lignite 30 – 40 %
Sub-bituminous 10 – 25 %
Bituminous   5 – 10 %
Antrasit   1 -   3 %

Gambut meskipun dalam banyak hal mempunyai kesamaan dengan batubara, tidak digolongkan sebagai batubara. Gambut secara umum mempunyai pengertian sebagai suatu sedimen organik yang dapat terbakar, berasal dari tumpukan hancuran atau bagian dari tumbuhan yang terhumifikasi dan dalam keadaan tertutup udara (di bawah air), tidak padat, kandungan air lebih dari 60 %. Ada satu hal penting yang menjadikan alasan, mengapa gambut tidak bisa digolongkan kedalam kelompok batubara, yaitu pada gambut belum/tidak terjadi metamorfosa akibat pengaruh P (pressure) & T (temperature), sehingga karakter fisik dan kimianya tidak jauh beda dengan kayu, meskipun penampakan fisualnya  lebih mirip dengan batubara.
Terbentuknya Batubara
Untuk mengetahui bagaimana batubara itu terbentuk, ada dua hal penting yang harus diketahui, yaitu pertama; lingkungan atau kondisi yang bagaimana batubara itu dapat terbentuk (lingkungan pengendapan/pembentukan batubara) dan kedua ; tahapan dan proses apa saja yang berlangsung serta yang menyertainya selama pembentukan batubara, dari mulai tanaman hingga menjadi batubara.. 
Lingkungan Pengendapan Gambut /Batubara
Secara umum lingkungan pembentuk batubara dapat dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu (1) lingkungan paralik atau marginal marine (daerah pesisir) dan (2) lingkungan limnik atau air tawar. 
Pada lingkungan paralik atau marginal marine, terdapat beberapa sublingkungan dimana batubara umum terbentuk, yaitu pada:
estuarin, lagun dan teluk: pada lingkungan ini terjadi deposisi sedimen klastik dan material organik dari marsh/swamp (paya/rawa) di sekitarnya serta kontribusi alga in situ.
coastal marsh: lingkungan ini berada pada daerah rendah di belakang gosong pantai sehingga terpisah dari laut. Akan tetapi pada saat terjadi pasang tinggi dan badai, coastal marsh secara periodik dipengaruhi oleh air laut. Tumbuhan yang terdapat pada lingkungan ini adalah tumbuhan yang mampu beradaptasi dengan berbagai kondisi salinitas. Tumbuhan yang umumnya ditemukan pada coastal marsh daerah tropis adalah berupa mangrove. 
Lower delta plain marsh/swamp: fasies ini terutama berupa daratan/pulau interdistributer yang ditumbuhi tumbuhan (mangrove) pada delta bagian depan yang berhadapan dengan laut. Pada saat terjadi pasang tinggi dan badai, air laut yang masuk dapat menyebabkan penambahan sulfur sehingga menyebabkan terbentuknya deposit gambut yang kaya akan pirit. Selain itu pada saat banjir, sedimen berbutir halus dapat diendapkan bersama material tanaman sehingga terbentuk gambut yang kandungan abunya tinggi.

Lingkungan limnik atau air tawar merupakan lingkungan yang didominasi oleh air tawar (atau di atas level pasang tertinggi) dan tidak memiliki hubungan hidrologis secara langsung dengan laut. Sub-lingkungan yang membentuk deposit batubara adalah:
fluvial swamp (termasuk upper delta plain swamp):  rawa fluvial banyak terdapat pada dataran banjir fluvial oleh karena terlindung dari suplai sedimen oleh adanya leeve sepanjang teras sungai. Gambut/batubara yang dihasilkan dapat berselang-seling dengan lapisan pasir atau lempung yang terbawa oleh adanya banjir. Kadang pembentukan gambut pada lingkungan ini juga diselingi dengan adanya fasies danau.
danau: pembentukan gambut terutama terjadi pada pinggir danau, sedangkan pada posisi yang lebih dalam terbentuk lumpur organik oleh karena minimnya sirkulasi air.
upland bog:  gambut juga dapat terbentuk pada lingkungan yang tidak secara langsung berhubungan dengan kondisi fluviatil, akan tetapi tetap terjadi drainasi dan akumulasi material klastik tidak terlalu banyak melampaui akumulasi tumbuhan.
Syarat-Syarat Pembentukan Batubara : 
Batubara dapat terbentuk setidaknya harus terpenuhi empat hal, yaitu :
1. Ketersediaan tumbuhan yang melimpah
2. Morfologi tempat pengendapan yang sesuai : kondisi rawa ideal untuk perkembangan organisme anaeraob, muka air tanah dangkal, iklim yang sesuai.
3. Penurunan dasar cekungan/rawa saat pengendapan (synsedimenter)  :
§ Terjadi keseimbangan biotektonik, yaitu keseimbangan kecepatan sedimentasi bahan-bahan pembentuk humin atau gambut dengan penurunan dasar rawa.
§ Terjadi fase biokimia (proses-proses kimiawi dengan bantuan mikro organisme dalam lingkungan bebas oksigen).
4. Penurunan cekungan/dasar rawa sesudah pengendapan (postsedimenter) :
§ Proses-proses geotektonik
§ Terjadi fase geokimia, yaitu proses-proses kimiawi bahan/material oleh proses-proses alam yang terjadi di dalam bumi.
Tahapan dan Proses Terjadinya Batubara :
Tahapan dan Proses Pembentukan Batubara dapat digolongkan menjadi dua kejadian, yaitu pertama tahap/fase diagenesa (perusakan dan penguraian) oleh organisme, atau sering juga disebut sebagai tahap/fase biokimia. Kedua adalah tahap metamorfosa, yaitu perubahan dari gambut menjadi batubara, yang sering juga disebut sebagai tahap geokimia 
Tahap/Fase Diagenesa (Biokimia)
Ekosistem rawa berbeda dengan ekosistem sungai dan danau, demikian pula kondisi air dan tanahnya. Pada lingkungan rawa, sirkulasi air  sangat minim bahkan sering tidak ada sirkulasi air sama sekali, hal ini mengakibatkan minimnya kandungan oksigen di rawa. Dalam lingkungan seperti ini, tanaman dan sisa-sisa tanaman rawa yang mati tidak bisa membusuk secara wajar (untuk pembusukan dibutuhkan oksigen/bakteri –bakteri aerob/suka oksigen). Pada akhirnya yang dominan adalah bakteri-bakteri jenis an aerab.
Bakteri anaerob mengurai tanaman yang mati tidak menjadi kompos (busuk), tetapi menjadi bahan lain yang disebut dengan gel atau jelly. Penguraian ini terjadi di lingkungan yang bebas (minim) oksigen. Lingkungan rawa yang selalu basah/berair atau muka air tanah yang sangat dangkal dan tanpa sirkulasi air yang baik, menghasilkan lingkungan yang cocok untuk bakteri an aerob berkembang biak dan aktif mengurai tanaman menjadi gel
Tahap selanjutnya, gel atau jelly semakin lama semakin tebal, membentuk sedimen, mampat dan memadat. Pemadatan biasanya diikuti dengan penurunan kandungan air, hingga akhirnya membentuk endapan/sedimen yang kaya bahan-bahan organik (humin) yang dikenal sebagai gambut (peat).
Fase Metamorfosa (Geokimia)
Pada fase ini, terjadi perubahan yang mendasar dari sifat-sifat fisik dan kimiawi bahan gambut menjadi batubara. Perubahan mendasar ini ditandai dengan semakin menurunnya kandungan air, hydrogen, oksigen, karbon dioksida dan bahan-bahan lain yang mudah terbakar (volatile matter). Bakteri tidak lagi berperan disini, akan tetapi yang berperan adalah perubahan-perubahan dan aktivitas-aktivitas yang terjadi di dalam bumi, seperti adanya perubahan tekanan dan temperatur, struktur, intrusi dan lain sebagainya.
 
Tahapan pembentukan batubara

Cekungan atau dasar rawa tempat terdapatnya lapisan gambut, yang terus menurun,  ditandai dengan timbunan sedimen dengan ketebalan hingga ribuan meter, mengakibatkan bertambahnya tekanan (P) dan suhu (T) yang cukup tinggi, hingga sebagian senyawa dan unsur (H2O, O2, CO2, H2, CH4, dll.) akan berkurang dan hilang. Dilain pihak, akibat berkurangnya kandungan za-zat tadi akan menambah prosentase unsur C (carbon) yang terkandung dalam batubara. Semakin tinggi kandungan C dalam batubara, maka tahap pembatubaraan (coalifikasi) semakin baik, ditandai dengan kenaikan kelas (rank) batubara. Dari unsure C inilah kalori batubara dihitung. Semakin tinggi prosentase C dalam batubara, maka nilai kalorinya semakin tinggi. 






 






















Skema proses pembatubaraan (Van Krevelen, 1992 dengan diolah kembali)

Peningkatan kelas (rank) batubara dapat juga terjadi akibat adanya intrusi magma atau hidrotermal. Lapisan gambut atau batubara yang terkena intrusi hingga radius tertentu akan mendapat P dan T yang lebih tinggi dibanding gambut dan batubara di tempat lain, sehingga kelas batubaranya akan naik.Reaksi pembentukan batubara dapat digambarkan sebagai berikut (Sukandarrumidi, 1995) :
           5(C6H10O5) C20H22O4 + 3CH4 + 8H20 + 6CO2 + CO
 cellulosa                                      lignit     gas metan
5(C6H10O5) C20H22O4 + 3CH4 + 8H20 + 6CO2 + CO
cellulosa bitumine   gas metan
Tipe Pengendapan Batubara
Ditinjau dari mekanisme atau tipe pengendapan bahan-bahan pembentuk batubara maupun pengendapan batubara, dapat digolongkan menjadi dua kelompok (Sukandarrumidi, 1995), yaitu : batubara yang terbentuk secara in-situ atau autochthonous dan yang terbentuk secara drift atau allochthonous.




Pembentukan batubara tipe in-situ dan tipe drift

Batubara jenis in-situ atau autochthonous yaitu batubara yang terjadi dari sedimentasi gambut dimana rawa gambut tersebut berada. Jadi batubara benar-benar berasal dari rawa gambut tempat tumbuh dan berkembangnya tanaman rawa tersebut, yang kemudian oleh proses-proses biokimia, geokimia dan geotektonik, batubara terbentuk 
Batubara jenis drift atau allochthonous adalah lapisan batubara yang terbentuk dari hasil pelapukan, erosi, transportasi dan akhirnya sedimentasi kembali dari lapisan batubara yang sudah terbentuk sebelumnya. Bahan asal batubara (tumbuhan maupun gambut) dapat terbawa, tererosi dan tertransportasi oleh aliran air. Sedimentasi kembali bahan-bahan organik ini dalam linkungan dan kondisi yang cocok untuk terjadinya proses pembatubaraan (coalification) dapat memungkinkan terbentuknya lapisan batubara. 

Model Lapisan (Seam) Batubara Akibat Proses Geologi dan Sedimentasi
Endapan batubara sering dijumpai berlapis-lapis atau berselang-seling dengan batuan sedimen lain (clay stone, sand stone, limestone, dll.). Terkadang lapisan batubara ini (biasa disebut seam) sangat tebal, tipis-tipis, bercabang dan terkadang dijumpai pula sisipan-sisipan (lenses) batu lempung atau batu pasir .
Pada dasarnya model atau pola (pattern) endapan dan perlapisan pada batubara dapat digolongkan menjadi dua model, yaitu yang terjadi karena stratigrafinya (stratigraphic pattern) dan karena pengaruh struktur geologi (structural pattern).
Model atau Pola Stratigrafi (Stratigraphic Pattern)
Endapan batubara model ini terjadi bilamana tidak ada pengaruh struktur geologi (patahan, lipatan, dll.) yang berarti, tetapi oleh proses sedimentasi normal atau adanya erosi dan ketidakselarasan (unconformity). Model-model lapisannya berupa lapisan yang normal mendatar atau sedikit miring (tebal atau tipis, atau berselangseling) dan terkadang dijumpai sisipan-sisipan lempung atau batupasir.
Lapisan atau Seam Batubara yang Tebal 
Lapisan (seam) batubara yang tebal diperkirakan terjadi karena pada saat pembentukan lapisan gambut, dasar rawa mengalami penurunan yang signifikan dan terus-menerus. Apabila kecepatan penurunan dasar rawa tempat pembentukan lapisan gambut tersebut sebanding (seimbang) dengan kecepatan pembentukan materi asal batubara (gel atau gambut), maka gambut yang terbentuk akan tebal, hingga memungkinkan terbentuk seam batubara yang tebal.. Keseimbangan ini dikenal sebagai keseimbangan biotektonik.
Lapisan atau Seam Batubara yang Tipis 
Lapisan (seam) batubara yang tipis diperkirakan terjadi karena beberapa hal, diantaranya adalah ketersediaan bahan-bahan pembentuk gambut (tetumbuhan) kurang mencukupi. Kemungkinan lain adalah karena pada saat pembentukan lapisan gambut, rawa terus mengalami pendangkalan karena tidak adanya penurunan dasar rawa, hingga akhirnya ekosistem rawa berubah menjadi ekosistem darat.
Perubahan ekosistem dan iklim yang ekstrim (perubahan iklim basah ke iklim kering) diperkirakan juga menjadi penyebab terputusnya proses pembentukan dan sedimentasi gambut, hingga menghasilkan lapisan gambut dan batubara yang tipis.

Lapisan atau Seam Batubara dengan Sisipan Sedimen Lain
Model lapisan batubara jenis ini diperkirakan terjadi erosi oleh sungai yang memotong lapisan-lapisan gambut pada saat pembentukannya. Perpindahan letak sungai, seperti yang sering dijumpai pada proses meander, pada daerah rawa tempat pembentukan gambut tersebut diperkirakan menjadi penyebab utama munculnya sisipan-sisipan lempung atau pasir pada suatu seam batubara. 
Pembentukan lapisan gambut pada suatu rawa gambut (mire/moor), dapat tererosi dan terpotong oleh aliran sungai, sehingga akan diendapkan sedimen asing di tempat tersebut. Apabila kemudian sungai ini mati/atau berpindah (sering dijumpai pada peristiwa meander sungai), sedimen yang terdapat di bekas sungai itu akan dapat tertutup lagi oleh sedimentasi gambut. Hasil akhir dari proses ini menghasilkan bentuk-bentuk perlapisan (seam) batubara yang disisipi oleh sedimen lempung atau pasir 
Selama sedimentasi bahan gambut dan setelah batubara terbentuk, terjadi interaksi dengan berbagai macam proses geologi yang dapat menyebabkan adanya variasi distribusi lapisan batubara. Proses tersebut antara lain menyebabkan terjadinya splitting, washouts dan floor rolls. Selain itu struktur geologi dapat menghasilkan perubahan distribusi seam baik secara lateral maupun vertikal.